Bu Rieny yang baik,
Saya 19 tahun, mahasiswa Ekonomi Syariah PTS di B, lulusan SMAN favorit. Saya menjalani dengan setengah hati tak ada semangat sama sekali, karena semua cita-cita saya sudah "melayang" entah kemana. Cita-cita menjadi pilot tapi tidak tercapai. Pertama saya divonis menderita buta warna. Kedua, saya juga rabun jauh dan tinggi badan tidak mencukupi sehingga tidak bisa menjadi pilot. Kecewa sekali, Bu. Saya sudah berusaha dan beribadah, tapi kenapa kok gagal terus?
Saya 19 tahun, mahasiswa Ekonomi Syariah PTS di B, lulusan SMAN favorit. Saya menjalani dengan setengah hati tak ada semangat sama sekali, karena semua cita-cita saya sudah "melayang" entah kemana. Cita-cita menjadi pilot tapi tidak tercapai. Pertama saya divonis menderita buta warna. Kedua, saya juga rabun jauh dan tinggi badan tidak mencukupi sehingga tidak bisa menjadi pilot. Kecewa sekali, Bu. Saya sudah berusaha dan beribadah, tapi kenapa kok gagal terus?
Terus terang Bu, saya merasa diperlakukan tidak adil oleh Tuhan. Mengapa
Dia Yang Maha Baik tega "merampas" semua harapan saya, dan membiarkan
teman-teman saya berhasil meraih harapannya? Mengapa Dia tega-teganya
membiarkan saya terlahir dengan buta warna parsial yang notabene adalah
cacat genetik?
Saya sering merasa iri dan "curiga" pada teman-teman yang berhasil. "Jangan-jangan nanti ketika maninggal dunia mereka masuk surga lagi?" Kalau memang benar begitu, enak sekali nasib mereka. Sudah terlahir dari keluarga berkecukupan, sekolah dan kuliah di tempat favorit, kerja di tempat yang enak, jadi orang kaya, dan meninggal masuk surga lagi. Sedangkan saya, terlahir sebagai seorang anak PNS, punya penyakit buta warna parsial, cita-cita pun tidak tercapai. Benar-benar tidak adil!
Perlakuan keluarga pada saya mulai berubah karena saya kalah berprestasi dibandingkan kakak dan adik. Di keluarga, anak dianggap hebat manakala ia rangking di sekolah favorit dan itu menjadi bahan pembicaraan dengan sanak famili lainnya ketika ada acara reuni keluarga. Karena sering dibanding-bandingkan, saya minder dan malas hadir di reuni keluarga.
Ayah pun kerap melontarkan kalimat yang menusuk hati, pandangan yang sinis ketika sedang mengobrol dengan saya. Hal itu membuat saya menjadi down, dan anehnya beliau seolah-olah tidak merasa bersalah sedikit pun. Padahal Ayah adalah seorang yang tahu banyak hal.
Bu, apakah di usia yang masih muda ini saya sudah harus diuji? Dosa apa yang pernah diperbuat oleh kedua orangtua saya dulu, sehingga jalan hidup saya harus seperti ini? Saya juga merasa kakak dan adik saya terlahir untuk menjadi "berlian", sedangkan saya menjadi "sampah" karena tidak memiliki kelebihan apa-apa dan hanya bisa mengecewakan keluarga. Ini semua membuat saya jadi pemberang, mudah sekali tersinggung pada hal-hal sepele terutama jika ada orang yang membangga-banggakan keberhasilannya atau menanyakan cita-cita saya.
Sempat terbersit keinginan untuk mengakhiri hidup, toh percuma hidup hanya jadi "sampah" saja. Tapi saya beriman pada hari akhirat. Kegagalan-kegagalan hidup yang saya alami berpengaruh pada ibadah saya, yang mulai banyak ketinggalan shalat 5 waktu. Tapi jujur, saya tidak merasa menyesalinya. Saya sudah capek beribadah tapi tidak mendapatkan "balasan" dan "jawaban" apa-apa dari-Nya selain gagal dan kecewa. Apa kontribusinya ibadah yang selama ini saya tekuni dengan kelancaran hidup saya?
Terus terang Bu, saya merasa dibohongi, diabaikan, dan dianaktirikan oleh-Nya yang selama ini saya puja. Apakah kondisi kejiwaan saya akan lebih baik jika memilih untuk alih studi ke perguruan tinggi lainnya? Beri saya solusi yang baik. Terima kasih.
R - Somewhere
Saya sering merasa iri dan "curiga" pada teman-teman yang berhasil. "Jangan-jangan nanti ketika maninggal dunia mereka masuk surga lagi?" Kalau memang benar begitu, enak sekali nasib mereka. Sudah terlahir dari keluarga berkecukupan, sekolah dan kuliah di tempat favorit, kerja di tempat yang enak, jadi orang kaya, dan meninggal masuk surga lagi. Sedangkan saya, terlahir sebagai seorang anak PNS, punya penyakit buta warna parsial, cita-cita pun tidak tercapai. Benar-benar tidak adil!
Perlakuan keluarga pada saya mulai berubah karena saya kalah berprestasi dibandingkan kakak dan adik. Di keluarga, anak dianggap hebat manakala ia rangking di sekolah favorit dan itu menjadi bahan pembicaraan dengan sanak famili lainnya ketika ada acara reuni keluarga. Karena sering dibanding-bandingkan, saya minder dan malas hadir di reuni keluarga.
Ayah pun kerap melontarkan kalimat yang menusuk hati, pandangan yang sinis ketika sedang mengobrol dengan saya. Hal itu membuat saya menjadi down, dan anehnya beliau seolah-olah tidak merasa bersalah sedikit pun. Padahal Ayah adalah seorang yang tahu banyak hal.
Bu, apakah di usia yang masih muda ini saya sudah harus diuji? Dosa apa yang pernah diperbuat oleh kedua orangtua saya dulu, sehingga jalan hidup saya harus seperti ini? Saya juga merasa kakak dan adik saya terlahir untuk menjadi "berlian", sedangkan saya menjadi "sampah" karena tidak memiliki kelebihan apa-apa dan hanya bisa mengecewakan keluarga. Ini semua membuat saya jadi pemberang, mudah sekali tersinggung pada hal-hal sepele terutama jika ada orang yang membangga-banggakan keberhasilannya atau menanyakan cita-cita saya.
Sempat terbersit keinginan untuk mengakhiri hidup, toh percuma hidup hanya jadi "sampah" saja. Tapi saya beriman pada hari akhirat. Kegagalan-kegagalan hidup yang saya alami berpengaruh pada ibadah saya, yang mulai banyak ketinggalan shalat 5 waktu. Tapi jujur, saya tidak merasa menyesalinya. Saya sudah capek beribadah tapi tidak mendapatkan "balasan" dan "jawaban" apa-apa dari-Nya selain gagal dan kecewa. Apa kontribusinya ibadah yang selama ini saya tekuni dengan kelancaran hidup saya?
Terus terang Bu, saya merasa dibohongi, diabaikan, dan dianaktirikan oleh-Nya yang selama ini saya puja. Apakah kondisi kejiwaan saya akan lebih baik jika memilih untuk alih studi ke perguruan tinggi lainnya? Beri saya solusi yang baik. Terima kasih.
R - Somewhere
Sumber : Tabloidnova
0 comments:
Post a Comment